Kamis, 04 Januari 2018

Makalah Pendidikan Inklusi



TUGAS PROBLEM PEMBELAJARAN MIPA

Tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Problem Pembelajaran Mipa





Disusun Oleh
Nama             : Penny Endah Alpiany
Nim                : 20167270137
Kelas              : 1b
No. Absen      : 9
Dosen             : Dr. Mamik Suendarti

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS INDAHPRASTA PGRI (UNINDRA)
JAKARTA
2016

 





Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini kelompok kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Jaringan Kerja Interaktif ", yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan memberikan pendidikan inklusif.
Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini kami membuat makalah dengan penuh rasa terima kasih, dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.





Jakarta, November 2016














DAFTAR ISI
1.      PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang               ………………………………………………………………1
1.2  Rumusan Masalah          ………………………………………………………………1
1.3  Tujuan                             ………………………………………………………………1
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Jaringan Kerja Interaktif               ………………………………………2
2.2 Macam – macam Jaringan Kerja Interaktif    ………………………………………3
2.3 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………………………………4
2.4 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………………………………6
2.5 Sejaran Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………………..8
2.6 Pengertian Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………………...11
2.7 Landasan Hukum Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………...13
2.8  Macam-macam Sistem Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) …….…..17
2.8.1        Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi …………………………………….17
2.8.2        Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi …………………………20
2.9  Kelemahan dan Kelebihan Sistem Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) …………………………………………………………………………………………..21
2.10          Pendidikan Inklusif ……………………………………………………………….22
2.10.1    Pengertian Pendidikan Inklusif ……………………………………………..22
2.10.2    Manfaat Pendidikan Inklusif ………………………………………………..23
2.10.3    Ciri – Ciri Pendidikan Inklusif ……………………………………………...24
2.10.4    Kelebihan Pendidikan inklusif ……………………………………………....24
2.10.5    Tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus … ..24
2.10.6    Model Pendidikan Inklusif …………………………………………………..24
2.10.7    Implementasi Pendidikan Inklusif ………………………………………….26
2.11          Kurikulum Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ) .... .………………………… 27
3.      PENUTUP
3.1  Kesimpulan ……………………………………………………………………………29
3.2  Saran ………………………………………………………………………………….. 29
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….30




BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Layanan pendidikan merupakan satu kajian penting untuk memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya dan membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.
Pendidikan inklusi merupakan seseuatu yang baru di dunia pendidikan Indonesia. Istilah pendidikan inklusif atau inklusi, mulai mengemuka sejak tahun 1990, ketika konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua, yang diteruskan dengan pernyataan salamanca tentang pendidikan inklusif pada tahun 1994.
Pendidikan inklusif  memiliki prinsip dasar bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Tetapi yang membedakan adalah masyarakatnya, mereka berpandangan bahwa sekolah inklusif hanya untuk siswa berkebutuhan khusus dan belum sepenuhnya wali murid percaya pada sekolah inklusif ada yang lebih memilih home schooling untuk anak mereka, yang menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana agar sekolah inklusif tidak dipandang rendah oleh masyarakat? dan bagaimana sekolah inklusif mendapat kepercayaan dari masyarakat agar anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus disekolahkan di sekolah inklusif? itulah yang menjadi tugas pemerintah untuk memberdayakan sekolah inklusif lebih baik lagi dan mendapat kepercayaan dikalangan masyarakat
1.2   Rumusan masalah
  1. Bagaimana model  layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
  2. Apa yang dimaksud dengan pendidikan insklusif?
  3. Bagaimana model pendidikan insklusif?
  4. Bagaimana kurikulum yang terdapat di dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus?
1.3   Tujuan 
  1. Untuk mengetahui layanan bagi anak berkebutuhan khusus
  2. Mengetahui dan memahami model layanan bagi anak berkebutuhan khusus
  3. Mengetahui pengertian dari pendidikan inklusif serta bagaimana implementasinya

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Jaringan Kerja Interaktif
Pembelajaran  Interaktif merupakan salah satu model pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Pembelajaran  terdapat Komponen–komponen  pembelajaran ditinjau dari pendekatan sistem, maka dalam prosesnya  suatu  pembelajaran  akan melibatkan  berbagai  komponen, diantaranya: tujuan, guru, peserta didik, materi,  metode,  media  serta  evaluasi.
Model pembelajaran interaktif sering dikenal dengan nama pendekatan pertanyaan anak. Model ini dirancang agar siswa akan bertanya dan kemudian menemukan jawaban pertanyaan mereka sendiri (Faire & Cosgrove dalam Harlen, 1992). Meskipun siswa mengajukan pertanyaan dalam kegiatan bebas, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terlalu melebar dan seringkali kabur sehingga kurang terfokus. Guru perlu mengambil langkah khusus untuk mengumpulkan, memilah, dan mengubah pertanyaan-pertanyaan tersebut ke dalam kegiatan khusus. Pembelajaran interaktif merinci langkah-langkah ini dan menampilkan suatu struktur untuk suatu mata pelajaran yang melibatkan pengumpulan dan pertimbangan terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa sebagai pusatnya (Harlen, 1992:48-50).
Tahapan  dalam  model  pembelajaran interaktif menurut Faire dan Cosgrove dalam Harlen (1996: 28) terdiri dari persiapan pengetahuan  awal,  kegiatan  eksplorasi, pertanyaan  siswa,  penyelidikan, pengetahuan akhir dan refleksi.
Kelebihan model pembelajara interaktif menurut Nurhasanah, (2004:17) diantaranya:
·       Siswa lebih banyak kesempatan untuk melibatkan keingintahuannya pada objek yang akan dipelajari
·       Melatih siswa untuk mengungkapkan rasa ingin tahu melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa mupun guru
·       Memberikan sarana bermain bagi siswa melalui kegiatan eksplorasi dan investigasi
·       Guru sebagai fasilitator
·       Guru Sebagai motivator
·       Guru Sebagai perancang aktivitas belajar, Hasil belajar akan lebih bermakna




2.2  Macam – macam Jaringan Kerja Interaktif
Pembelajaran, Menurut Usman ( 2000 : 4 ) “ … proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu” Proses pembelajaran merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam pembelajaran yang satu sama lain saling berhubungan dalam sebuah rangkaian untuk mencapai tujuan. Menurut Sudjana ( 1989 : 30 ) yang termasuk dalam komponen pembelajaran adalah “ tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian “Metode mengajar yang digunakan guru hampir tidak ada yang sisa-sia, karena metode tersebut mendatangkan hasil dalam waktu dekat atau dalam waktu yang relatif lama.
Hasil yang dirasakan dalam waktu dekat dikatakan seabagi dampak langsung (Instructional effect) sedangkan hasil yang dirasakan dalam waktu yang reltif lama disebut dampak pengiring (nurturant effect) biasanya bekenaan dengan sikap dan nilai. (Syaiful Bahri Djamarah, 2000,194) Macam-macam Metode Pembelajaran :
1.    METODE CERAMAH
Metode ceramah adalah metode yang boleh dikatakan metode tradisonal. Karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dan anak didik dalam interaksi edukatif.
2.    METODE PROYEK
Metode proyek adalah suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan sehari-hari sebagai bahan pelajarannya. Bertujuan agar anak didik tertarik untuk belajar.
3.    METODE EKSPERIMEN
Metode eksperimen adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Dengan metode ini anak didik diharapkan sepenuhnya terlibat merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, menemukan fakta, mengumpulkan data, mengendalikan variabel, dan memecahkan masalah yang dihadapinya secara nyata.
4.     METODE PEMBERIAN TUGAS DAN RESITASI
Pemberian tugas dengan arti guru menyuruh anak didik misalnya membaca, tetapi dengan menambahkan tugas-tugas seperti mencari dan membaca buku-buku lain sebagai perbandingan, atau disuruh mengamati orang/masyarakatnya setelah membaca buku itu. Dengan demikian, pemberian tugas adalah suatu pekerjaan yang harus anak didik selesaikan tanpa terikat dengan tempat.
5.     METODE DISKUSI
Diskusi adalah memberikan altematif jawaban untuk membantu memecahkan berbagai problem kehidupan. Dengan catatan persoalan yang akan didiskusikan harus dikuasai secara mendalam.
6.     METODE LATIHAN
Metode latihan (driil) disebut juga metode training, yaitu suatu cara mengajar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Juga, sebagai sarana untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik. Selain itu, metode ini dapat digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan, ketepatan, kesempatan, dan keterampilan.
7.       PICTURE AND PICTURE
8.       NUMBERED HEAD TOGETHER ((KEPALA BERNOMOR) (SPENCER KAGAN, 1992)
9.       COOPERTIVE SCRIPT (DANSEREAU CS., 1985)
10.   KEPALA BERNOMOR STRUKTUR (MODIFIKASI DARI NUMBER HEADS)
11.   JIGSAW (MODEL TIM AHLI) (ARONSON, BLANEY, STEPHEN, SIKES, AND SNAPP, 1978)
12.   ARTIKULASI
13.   MIND MAPPING
14.   MAKE – A MATCH (MENCARI PASANGAN)
15.   THINK PAIR AND SHARE (FRANK LYMAN, 1985)
16.   BERTUKAR PASANGAN
17.   SNOWBALL THROWING
18.   TEBAK KATA
19.   KELILING KELOMPOK
20.   COURSE REVIEW HORAY

2.3  Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya. Menurut Heward, anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.


Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu :
1.    ABK yang bersifat permanen, yaitu akibat dari kelainan tertentu.
2.    ABK yang bersifat temporer, yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Misalnya, anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat kerusuhan dan bencana alam, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang mengalami kewibahasaan (perbedaan bahasa di rumah dan di sekolah), anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena isolasi budaya dank arena kemiskinan dsb. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan interverensi yang tepat dan sesuai dengan hambatan belajarnya bisa menjadi permanen.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki perkembangan hambatan belajar dan kebutuhan belajar yang berbeda.-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1.    Factor lingkungan
2.    Factor dalam diri anak sendiri
3.    Kombinasi antara factor lingkungan dan factor dalam diri anak.
Mereka yang digolongkan pada anak yang berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan berdasarkan gangguan atau kelainan aspek:
1.    Fisik/motorik, misalnya cerebral palsi, polio, dan lain-lain
2.    Kognitif : mental retardasi, anak unggul (berbakat)
3.    Bahasa dan bicara
4.    Pendengaran
5.    Penglihatan
6.    Social emosi
Anak tersebut membutuhkan metode, material, pelayanan dan peralatan yang khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Karena anak-anak tersebut mungkin akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga dengan cara yang berbeda pula. Walaupun mereka memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak secara umum, mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama. Hal ini dapat dimulai dengan cara penyebutan terhadap anak dengan kebutuhan khusus.




2.4  Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Dalam ABK dikenal istilah-istilah sebagai berikut :
1.       Awas (low vision)
Yaitu seseorang dikatakan kurang awas bila ia masih memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa sehingga masih dapat sedikit melihat atau masih bisa membedakan gelap dan terang.
2.       Lemah pendengaran (hard of hearing)
Jika mereka kehilangan kemampuan mendengar berkisar antara 35-69 dB, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mendengar tetapi tidak terhalang baginya untuk mengerti pembicaraan orang lain walaupun dengan menggunakan atau tidak menggunakan alat bantu dengar (Moores, 1987:5)
3.       Terbelakang mental (retardasi mental)
Yaitu suatu keadaan dengan intelegensia yang kurang (sub normal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak), yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada di bawah rata-rata dan disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berperilaku adaptif.
4.       Kelayuhan otak (cerebral palcy)
Cerebral palcy menurut artinya berasal dari kata cerebral atau cerebrum yang artinya otak. Dan palsy artinya kekakuan. Jadi Cerebral Palsy artinya kekakuan yang disebabkan kelainan di dalam otak. Sebenarnya anak yang menderita cerebral palsy tidak selalu menunjukkan kekakuan, tetapi dapat juga menunjukkan kelayuan atau getaran atau ketidak sempurnaan bergerak.
5.       Emotionaly disturbed
Yaitu kelompok anak yang terganggu atau terhambat perkembangan emosinya, dengan menunjukkan adanya gejala ketegangan atau konflik batin, menunjukkan kecemasan, penderita neurotis atau bertingkah laku psikotis.
6.       Socialy maladjusted
Yaitu kelompok anak yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Kelompok anak ini menunjukkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran “cultural permissive” atau norma-norma masyarakat dan kebudayaan yang berlaku baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat.
7.       Emotionally handicapped
Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M. Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini:
a.       Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual
b.       Sonsori atau kesehatan
c.       Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru
d.       Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya
e.       Secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira tau depresi dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006)
8.       Psikotik
Yaitu kelompok anak gangguan emosi pada taraf berat dan sangat berat, dengan gejala mengalami disorientasi waktu, ruang, atau ketiga-tiganya. Shizoprenia yaitu tidak bisa membedakan antara halusinasi dan kenyataan merupakan gejala paling umum pada kelompok ini. Untuk menyembuhkan kelompok ini dibutuhkan tenaga profesional dan kemungkinan untuk dirawat di rumah sakit jiwa.
9.       Autis IQ
Adalah salah satu defisit perkembangan pervasif pada awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan ciri pokok yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial, bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif, stereotipik dan obsesif (Budiman, 1997)
10.   Attention Deficit and Hyperactive Disorder (ADHD)
Adalah suatu peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan tertentu yang menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat dan suasana yang berbeda. Aktifitas anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan ditandai dengan gangguan perasaan gelisah, selalu menggerak-gerakkan jari tangan, kaki, pensil, tidak dapat duduk dengan tenang dan selalu meninggalkan tempat duduknya meskipun pada saat dia seharusnya duduk dengan tenang.
11.   Down syndrome
Merupakan kelainan kromosom yakni terbentuknya kromosom 21 akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down karena ciri-ciri yang aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia, maka sering juga dikenal dengan istilah Mongoloid.
2.5  Sejaran Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Pendidikan kebutuhan khusus dapat secara singkat dijelaskan sebagai pendidikan bagi orang yang berkebutuhan khusus dan menyandang kecacatan. Fokus utamanya adalah kemungkinan dan hambatan dalam pengajaran dan belajar yang terdapat dalam faktor-faktor masyarakat, dalam praktek dan teori pendidikan, dan dalam pluralitas kebutuhan khusus individu dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, pendidikan kebutuhan khusus merupakan sebuah disiplin pendidikan dengan orientasi baru yang didasari hasil pemikiran yang kritis.
Pendidikan kebutuhan khusus merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar yang sudah tua, yang membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern
a. Siswa yang berkebutuhan khusus di awal sejarah sekolah umum
Dalam konteks Eropa, sekolah dasar di Norwegia mempunyai sejarah yang sangat panjang sejak pengesahannya secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739. Fondasi sekolah ini, yaitu “untuk semua dan setiap orang”, merupakan upaya utama dalam bidang pendidikan pada waktu itu. Sejak awal tahun 1739, dibuat keputusan bahwa sekolah harus untuk “semua dan setiap orang”. Sejak waktu itu, sekolah bebas biaya. Namun, dalam kaitannya dengan kepedulian kita dewasa ini, pertanyaan kuncinya adalah apakah sekolah itu benar-benar bagi semua orang, termasuk anak-anak penyandang cacat dan berkebutuhan khusus yang memerlukan dukungan pendidikan. Seberapa besarkah kesadaran para pendeta pietistic yang idealis, yang berhasil mengembangkan proyek pendidikan yang sangat besar ini, akan kenyataan bahwa anak-anak berbedar-beda dalam cara belajarnya dan kebutuhannya akan dukungan.
Erik Pontoppidan (1698-1764) adalah salah seorang penggagas utama sekolah baru ini. Atas perintah Raja, dia membuat buku pelajaran pertama, yang disebut Penjelasan Pontoppidan, yang menjadi buku teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah sekolah dasar Norwegia. Di samping itu, dia juga menulis tentang pendidikan dalam banyak teks lainnya. Sebagai Uskup Bergen, dia telah berusaha keras untuk menerapkan undang-undang baru tentang sekolah untuk semua orang, di antaranya dengan mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di seluruh negeri (yang sayangnya hanya bertahan dalam waktu yang singkat).
b.  Sejarah pendidikan bagi penyandang cacat di Eropa
Mengenai pendidikan bagi orang dengan berbagai jenis kecacatan, gambaran umum sejarah menunjukkan adanya perkembangan dari upaya-upaya pendidikan yang sporadis, ke keingintahuan filosofis, hingga didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya. Dari sejarah, kita dapat melihat kilasan-kilasan tentang berbagai kondisi para penyandang cacat mulai dari zaman Mesir Kuno, Yunani kuno, Injil dan Qur’an, dan sejumlah teks abad ke-18. Serpihan-serpihan dokumentasi itu memberi kesan tentang adanya sikap yang mendua, antara perawatan, kasih sayang dan minat pada satu pihak, dan, di pihak lain, kurangnya tanggung jawab, eksklusi dan kecenderungan yang meningkat untuk mengelompokkan orang berdasarkan jenis kecacatannya. Tidak mengherankan bahwa dokumentasi tentang upaya-upaya pendidikan itu hanya merupakan sebagian kecil dari informasi yang ada mengenai orang-orang yang menyandang kecacatan, mengingat bahwa pendidikan formal merupakan hak istimewa bagi sebagian kecil orang pada awal sejarah.
Model huruf ukiran untuk orang tunanetra ditemukan pada zaman Mesir kuno, dan juga pada zaman Renaissance di Eropa ketika Erasmus dari Rotterdam (1469- 1536) juga menggunakan alfabet ukiran dalam pelatihan keterampilan menulis bagi siswa-siswa yang awas. Informasi lain mengatakan bahwa sejak abad kelima telah ada berbagai kelompok orang tunanetra yang dapat mencukupi dirinya sendiri dan yang mengatur pelatihan pekerjaan internal. Satu contoh tentang mengajarkan membaca bibir kepada orang tunarungu ditemukan di Keuskupan York pada abad kedelapan. Namun, menurut Enerstvedt (1996), pengetahuan mengenai cara mendidik orang yang tunarungu berat mulai disebarkan dari apa yang disebut “revolusi Spanyol yang tidak begitu terkenal” ke berbagai bagian benua Eropa lainnya dan kepulauan Inggris pada akhir abad ke-16.
Bagaimana orang dapat belajar jika satu indera tidak berfungsi? Girolam Cardano (1501- 1576) memperkenalkan pendapat bahwa indera-indera itu saling menggantikan, sehingga bila indera penglihatan atau pendengaran hilang, indera lain akan berfungsi sebagai dasar bagi aktivitas kognitif dan belajar (Befring 1994; Enerstvedt 1886). Ketika filosof empiris Inggris John Locke (1632-1704), memfokuskan kembali tentang pentingnya fungsi indera-indera untuk belajar dan pemahaman, pandangannya menjadi titik awal bagi rasa ingin tahu filosofi baru dan sedikit demi sedikit juga minat pendidikan. Metode pengajaran bagi orang yang menyandang ketunarunguan dan ketunanetraan berat muncul dalam agenda resmi. Paris menjadi tuan rumah yang baik bagi perkembangan berbagai pendekatan khusus, dan minat orang meluas untuk juga mencakup perlakuan bagi penyakit jiwa dan gangguan perkembangan yang parah. Dari Paris gagasan tentang pendidikan khusus menyebar ke seluruh Eropa dan benua lain.
Ketika Edward Seguin (1812-1880) beberapa tahun kemudian mulai mengajar seorang anak laki-laki yang tunagrahita dengan bantuan dari Itard dan Esquirol, Seguin menjadi pendiri sebuah sekolah khusus bagi anak tunagrahita. Dia tidak hanya mencari inspirasi dari pergerakan pendidikan khusus sebelumnya di Paris, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran pendidikan umum Comenius, Locke dan Rousseau, juga dari filsafat dan agama Kristen. Dengannya dimulailah era eksperimen pendidikan yang optimistik dalam bidang ketunagrahitaan, yang tersebar luas ke beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, karena Seguin mengembangkan karyanya lebih lanjut di “Dunia Baru” di seberang lautan Atlantik (Askildt & Johnsen 2001).
Optimisme ini juga mencapai negara-negara Nordik sebagaimana tergambar dalam judul buku yang ditulis oleh seorang dokter dari Denmark, Jens R. Hübertz (1794-1855), Weakmindedness or Idiocy and Its Curability. Judul tersebut menggambarkan bahwa optimisme tidak hanya terbatas pada pendidikan. Judul ini juga menyiratkan adanya harapan untuk menyembuhkan ketunagrahitaan. Hübertz mendirikan sebuah lembaga bagi orang tunagrahita, “Gamle Bakkehus” (Rumah Bukit Tua) pada tahun 1855, di mana sejumlah kecil orang dari negara-negara Nordik ditempatkan bersama mayoritas terbesar warga Denmark (Nørr 2001).
Di Norwegia inisiatif pendidikan resmi yang pertama dalam bidang ini adalah dibukanya sebuah sekolah siang pada tahun 1874, diikuti oleh pendirian sebuah sekolah khusus bagi anak tunagrahita. Salah seorang perintis di sini adalah Johan A. Lippestad (1844-1913). Segera menjadi jelas bahwa tidak semua anak yang masuk sekolah ini dapat belajar mengikuti silabus yang ditetapkan sebelumnya, akibat tingkat kemampuan intelektual mereka (dan tentu saja juga akibat tingkat kognitif yang dituntut oleh silabusnya). Akibatnya, saudara perempuan Lippestad, Emma Hjorth (1858-1821) membeli sebidang tanah di luar ibu kota dan mendirikan sebuah lembaga bagi orang tunagrahita berat, yang kemudian dia serahkan kepada kementrian pendidikan (tutvedt 2001). Beberapa tahun setelah pendirian sekolah khusus pertama bagi siswa tunagrahita, Norwegia menetapkan undang-undang Pendidikan Khusus pertama, tahun 1881. Ini adalah undang-undang yang berkaitan dengan sekolah khusus bagi anak-anak tunanetra, tunarungu atau tunagrahita.
Namun, meskipun ada undang-undang ini, mayoritas anak tunagrahita masih tidak mempunyai sekolah selama bertahun-tahun kemudian, walaupun situasinya lebih baik bagi anak-anak yang tunarungu dan tunanetra.
Menurut sejarah kita dapat melihat bahwa wacana serta praktek pendidikan kebutuhan khusus berisi ide-ide dan tradisi lama yang bercampur baur dan dimodifikasi dengan aliran pemikiran baru yang senantiasa diperbaharui. Beberapa di antara ide itu dikembangkan melalui sistem sekolah reguler. Sebagaimana dibahas pada awal artikel ini, ide-ide mengenai pembedaan penggunaan materi pembelajaran serta pendidikan yang diadaptasikan secara individual diujicobakan pada awal wajib belajar pendidikan dasar. Tanda-tanda awal fleksibilitas ini didasarkan atas pengetahuan bahwa anak-anak berbeda dalam caranya belajar dan bahwa anak-anak tertentu lebih membutuhkan bantuan daripada anak lain. Ide-ide dan langkah-langkah yang spesifik juga telah dikembangkan dalam tradisi sekolah khusus. Penggunaan bahasa isyarat dan membaca bibir bagi orang yang tunarungu, dan alfabet ukiran untuk dibaca dengan indera perabaan oleh orang tunanetra merupakan contoh klasik yang berakar pada hasil pemikiran masa lampau.
Namun, telah pula didokumentasikan bahwa sejarah pendidikan reguler maupun pendidikan kebutuhan khusus bukan alur yang lurus dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik, dari kegelapan menuju terang dalam pengetahuan dan sikap terhadap orang-orang yang berkebutuhan khusus. Sebaliknya, penelitian dalam sejarah menunjukkan adanya gabungan antara bermacam-macam tradisi dan gagasan, sebagian dengan konsekuensi positif bagi para pewarisnya, sebagian lagi dengan konsekuensi negatif yang ekstrim. Seiring dengan berlalunya waktu, ide-ide tertentu saling mendukung, yang lainnya saling bertentangan atau saling mengubah, sehingga ide aslinya tidak dapat dikenali lagi. Ada ide yang menghambat perbaikan kondisi para penyandang cacat, tetapi ada pula yang mendukung kondisi kehidupan yang lebih baik dan mendukung belajarnya sebagaimana telah digambarkan dalam artikel ini. Selalu ada bermacam-macam gagasan dan tradisi yang diperjuangkan untuk memperoleh posisi istimewa di dalam wacana tersebut. Inilah yang juga terjadi sekarang dan hampir pasti akan pula terjadi di masa datang. Maka dari itu, kita harus mempertahankan, mengembangkan dan mengadaptasikan ide-ide yang baik untuk mengubah kondisi sekolah dan kondisi masyarakat secara keseluruhan.

2.6  Pengertian Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi Pendidikan Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.
Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 Tahun 2010 Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Pasal 133 ayat (4)menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan.
Integrasi antar jenjang dalam bentuk Sekolah Luar Biasa (SLB) satu atap, yakni satu lembaga penyelenggara mengelola jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB dengan seorang Kepala Sekolah. Sedangkan Integrasi antar jenis kelainan, maka dalam satu jenjang pendidikan khusus diselenggarakan layanan pendidikan bagi beberapa jenis ketunaan. Bentuknya terdiri dari TKLB; SDLB, SMPLB, dan SMALB masing-masing sebagai satuan pendidikan yang berdiri sendiri masing-masing dengan seorang kepala sekolah.
Altenatif layanan yang paling baik untuk kepentingan mutu layanan adalah INTEGRASI ANTAR JENIS. Keuntungan bagi penyelenggara (sekolah) dapat memberikan layanan yang tervokus sesuai kebutuhan anak seirama perkembangan psikologis anak. Keuntungan bagi anak, anak menerima layanan sesuai kebutuhan yang sebenarnya karena sekolah mampu membedakan perlakuan karena memiliki fokus atas dasar kepentingan anak pada jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB.
Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis. Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi padahal sebenarnya sangat merugikan anak karena dalam praktiknya seorang guru yang mengajar di SDLB juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang diberikan kadang sama antara kepada siswa SDLB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas materi pelajaran juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis karena tidak menghargai perbedaan karakteristik rentang usia.
Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di Indonesia dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Pemerintah sebenarnya ada kesempatan memberikan perlakuan yang sama kepada Anak Indonesia tanpa diskriminasi. Coba renungkan kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri untuk anak bukan ABK, mengapa tidak bisa mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri bagi ABK. Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah dan DIY baru Pemerintah Kabupaten Cilacap yang berkenan mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri masing-masing berdiri sendiri sebagai satuan pendidikan formal. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap tidak mempermasalahkan kewenangan siapa pengelolaan satuan pendidikan khusus, akan tetapi semata-mata didasari oleh kebutuhan masyarakat sebagai warga negara yang berdomisili di wilayahnya.

2.7  Landasan Hukum Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Penerapan pendidikan inklusif di Indonesia dilandasi oleh:
1.    Landasan filosofis
Landasan filosofis bagi pendidikan Inklusif di Indonesia yaitu:
a.    Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang Negara burung Garuda yang berarti “bhineka tunggal ika”. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam NKRI.
b.    Pandangan agama (khususnya islam): manusia dilahirkan dalam keadaan suci, kemuliaan manusia di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi takwanya, allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturrahmi.
c.    Pandangan universal hak azasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
d.    Pendidikan inklusi merupakan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalyang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.
2.    Landasan yuridis
a.    Nasional
1)    UUD 1945 (amandemen) pasal 31
a)    Ayat(1): “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
b)    Ayat(2): “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
2)    UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 5
a)    Ayat(1): setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh   pendidikan yang bermutu
b)    Ayat(2): warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, intelektual, dan atau social berhak memperoleh pendidikan khusus
c)    Ayat(3): warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus
d)    Ayat(4): warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
3)    UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
a)    Pasal 48: pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (Sembilan) tahun untuk semua anak.
b)    Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
4)    UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat
Pasal 5: setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
5)    Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa
6)    Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 20 januari 2003: “setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan di sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP,SMA, SMK.



7)    Deklarasi Bandung: “Indonesia menuju pendidikan inklusif” tanggal8-14 agustus 2004
a)    Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, social, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal
b)    Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hokum, politis maupun kultural
c)    Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya, sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya secara optimal
d)    Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun, dan di lingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan
e)    Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan dan lainnya secara berkesinambungan
f)      Menyususn rencana aksi (action plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anaka berkelainan lainnya
g)    Pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industry, orang tua serta masyarakat.
b.    Internasional
1)    Salamanca statement and framework for action on special needs education (1994) Article 2 : We believe and pro claim that:
a)    EVERY CHILD HAS A FUNDAMENTAL RIGHT TO EDUCATION, and must be given the opportunity to achieve and maintain and acceptable level of learning
b)    EVERY CHILD has UNIQUE CHARACTERISTIC, INTERESTS, ABILITIES, and LEARNING NEEDS
c)    Educations systems should be designed and educational programmes implemented to take into account the WIDE DIVERSITY OF THESE CHARACTERISTIC and NEEDS
d)    Those with SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS MUST BE ACCESS TO REGULAR SCHOOLS which should accommodate them within should a child centred pedagogy capable of meeting these needs
e)    REGULAR SCHOOLS WITH THIS INCLUSIVE ORIENTATION are the most effective means of COMBATING DISCRIMINATORY ATTITUDES, CREATING WELCOMING COMMUNITIES BUILDING IN INCLUSIVE SOCIETY AND ACHIEVING EDUCATION FOR ALL; more over, they provide an effective education to the majority of children and improve the efficiency and ultimately the cost-effectiveness of entire education system
2)    Deklarasi Bukittinggi tahun 2005
a)    Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk “Pendidikan Untuk Semua” adalah vbenar-benar untuk semua
b)    Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan anak usia dini, pra-sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan enklusi
c)    Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan mengnhormati perbedaan individusemua warga Negara
3.    Landasan pedagogis
Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi melalui pendidikan, peserta didika berkelaian  dibentuk menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai peerbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.



4.    Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di Negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar yang dipelopori oleh the National Academy of Science (AS). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak effective dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak  berkelainan secara tepa, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995)
Prisoner (2003) yang melakukan survey pada kepala sekolah tentang sikap mereka terhadap pendidikan inklusif menemukan bahwa hanya satu dari lima sekolah tersebut yang memiliki sikap postif tentang penerapan pendidikan inklusif. Dalam suatu penelitian menemukan bahwa guru-guru dalam sekolah inklusif lebih memiliki sikap positif  terhadap peran guru inklusi dan dampaknya daripada guru pada sekolah regular. Meyer (2001) mengatakan bahwa siswa yang memiliki kecacatan yang cukup ditemukan untuk memiliki keberhasilan  yang lebih besar manakala mereka memperoleh pendidikan dalam lingkungan yang menerima mereka khususnya yang berkaitan dengan hubungan social dan persahabatan mereka dengan masyarakatnya

2.8    Macam-macam Sistem Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
2.8.1          Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan  pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan kusus diberikan layanan pendidikan pada pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Bias, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.
Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keragaman terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna netra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tuna rungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna daksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.
Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi yaitu:
a)    Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja) sehingga ada SLB untuk tuna netra (SLB-A), SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi karena jjumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
b)    Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB bersrama tinggal di asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tuna netra dan tuna rungu.
Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan empat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.

c)    Kelas Jauh / Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
d)    Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk tuna netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita, guru untuk tuna daksa, guru agama, dan guru olah raga. Selain tenga kependidikan, di SDLB dilengkapi dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan kelainan mereka, antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapis, psikolog, speech therapish, audiolog. Selian itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajat dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing.pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tuna netra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi moobilitas; anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total bina persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri; anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik.



2.8.2          Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melyani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah:
a)    Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memeperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
b)    Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak noormal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
c)    Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan,  metode, dan cara penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahatatau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

2.9   Kelemahan dan Kelebihan Sistem Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
A.     Segregatif Kelebihan :
1.    Sistem layanan pendidikan luar biasa segregatif akan memberikan rasa ketenangan pada peserta didik anak berkebutuhan khusus.
2.    Terjadinya komunikasi baik dan lancar antara guru dengan peserta didik maupun pesertadidik dengan peserta didik lainnya.
3.    Dengan adanya seleksi yang ketat untuk pemilihan guru yang akan mendidik langsung peserta didik anak berkebutuhan khusus, maka peserta didik akan mendapatkan pelayanan pendidikan luar biasa yang memadai karena guru memiliki latar belakang pendidikan luar biasa.
4.    Pada pendidikan luar biasa segregatif akan mendapatkan sarana prasarana yang sesuaiseperti alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk peserta didik, jumlah peserta didiktidak lebih dari 8 orang sehingga guru dapat memberikan layanan individual pada setiap peserta didik, Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang denganmempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami mendapat latihan keterampilanorientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama disability dandapat menemukan orang disability yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagaimodel.
5.    Dengan pendidikan luar biasa segregatif dapat membangkitkan rasa ingin diakui bagisetiap peserta didik anak berkebutuhan khusus terutama dalam memperoleh pendidikan
Kelebihan :
·      Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga,
·      Kegiatan pembelajarannya bisa lebih fokus, 
·      Lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah.
·      Memaksimalkan potensi anak SN sejak usia dini dan mengikuti standar waktu yang ditetapkan oleh home schooling,
·      Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang, 
·      Biaya pendidikan disesuaikan dengan keadaan orang tua, home schooling dapat menjadi alternatif bentuk layanan pendidikan bagi anak autis.

Kekurangan : 
·      Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua, 
·      Sosialisasi dengan teman sebaya menjadi relatif rendah, 
·      Anak relatif tidak terekspos dengan pergaulan yang heterogen secara sosial, 
·      Perlindungan orang tua  dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi sebelumnya.
·      Kematangan kepribadian anak otomatis terlambat karena jarang terpapar dengan masalah interaksi sosial.

2.10 Pendidikan Inklusif
2.10.1 Pengertian Pendidikan Inklusif
Konsep inklusi, dimana sistem suatu institusi atau lembaga yang menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Selain itu, integrasi lebih berfokus pada kurikulum dan diatur oleh guru, sedangkan inklusi berpusat pada siswa, dan dikembangkannya interaksi yang komunikatif dan dialogis.
Dari uraian tersebut sesungguhnya dikemukakan, bahwa konsep inklusif lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menurut Sapon-Shevin dalam O’Neil (1994/1995) didefinisikan sebagai suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Untuk itu perlu adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus bagi setiap anak. Sejalan dengan konsep ini, Smith (2006:45) mengemukakan, bahwa inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang mengalami hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah. Gagasan utama mengenai pendidikan inklusif ini menurut Johnsen (2003:181), adalah sebagai beriku :
1.    Bahwa setiap anak merupakan bagian integral dari komunitas lokalnya dan kelas dan kelompok reguler.
2.    Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif, individualisasi pendidikan dan fleksibilitas dalam pilihan materinya.
3.    Bahwa guru bekerjasama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan kebutuhan pengajaran umum, khusus dan individual, dan memiliki pengetahuan tentang cara menghargai tentang pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.
Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya. Penting bagi guru untuk disadari, bahwa di sekolah mereka dapat membuat penyesuaian pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, manakala mereka memiliki pandangan pendidikan yang komprehensif , yang terpusat pada anak. Meskipun mungkin masih memerlukan pelatihan tentang metode atau strategi khusus yang akan diterapkan di sekolah.
Kesadaran tersebut juga perlu dibangun, terutama berkenaan dengan pengembangan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Ini didasari atas pertimbangan, bahwa anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Mereka juga memiliki hak untuk belajar bersama dengan teman-teman sebayanya.
2. 10. 2 Manfaat Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut-sertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Manfaat pendidikan inklusif adalah :
·      Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
·      Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.
·      Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
·      Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
2. 10. 3 Ciri – Ciri Pendidikan Inklusif
·      ABK belajar bersama-sama dengan anak rata-rata lainnya
·      Setiap anak memperoleh layanan pendidikan yang layak, menantang dan bermutu
·      Setiap anak memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya
·      System pendidikan menyesuaikan dengan kondisi anak.
2. 10. 4 Kelebihan Pendidikan inklusif
·      Dapat memenuhi hak pendidikan bagi semua orang (education for all);
·      Mendukung proses wajib belajar ;
·      Pembelajaran emosi-sosial bagi ABK;
·      Pembelajaran emosi-sosial-spiritual bagi anak rerata lainnya;
·      Pendidikan ABK lebih efisien.
2.10. 5 Tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus
1.    Individual differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. memiliki kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
2.    Potensi siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus
3.    Siswa ABK akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.
2. 10 . 6 Model Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model.
1.    Model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler.
2.    Model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.
Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.
Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.
Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu:
1.    Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh
2.    Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming
Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.
Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:
1.    Bentuk kelas reguler penuh, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2.    Bentuk kelas reguler dengan cluster, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3.    Bentuk kelas reguler dengan pull out, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4.    Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.
5.    Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6.    Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler, Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
2.10.7 Implementasi Pendidikan Inklusif
Implementasi Inklusif
Pendidikan inklusif sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari program mainstreaming yang sudah beberapa dekade ini diterapkan secara luas oleh para pendidik di berbagai negra untuk anak- anak berkebutuhan khusus, meskipun orientasi dan implementasinya berbeda. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbagkan dalam implementasi pendidikan inklusif, beberapa faktor dimaksud menurut skjorten, Miriam D (2003:52-58) adalah;
·       Kebijakan – hukum- undang-undang – ekonomi, yaitu perlunya ada undang-undang khusus yang mengakomodasi kepentingan anak berkebutuhan khusus, sertu dukungan dana dalam implementasinya;
·       Sikap – pengalaman- pengetahuan, yaitu berkenaan dengan pengakuan hak anak serta kemampuan dan potensinya;
·       Kurikulum lokal, reginal, dan nasional;
·       Perubahan pendidikan yang potensial, inklusi harus didukung oleh reorientasi di lapangan, dalam bidang pendidikan guru dan penelitian;
·       Kerjasama lintas sektoral;
·       Adaptasi lingkungan, dan
·       Penciptaan lapangan kerja.
Di Indonesia sendiri Pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah didasarkan pada beberapa landasan, filosofis dan yuridis-empiris. Secara filosofis, implementasi inklusi mengacu pada beberapa hal, diantaranya, bahwa:
1.    Pendidikan adalah hak mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus
2.    Anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda
3.    Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua masyarakat dan pemerintah
4.    Setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak
5.    Setiap anak berhak memperoleh akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya
Sedangkan landasan yuridis-empirisnya mengacu pada:
1.       UUSPN No 20 tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1), (2)
2.       U U D 1945 pasal 31 ayat (1) & (2). dan (3)
3.       Permen No 22 dan 23 Tahun 2006
4.       Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948
5.       Konvensi Hak Anak, 1989
6.       Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990
7.       Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang
8.       Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan
9.       Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusi Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukittinggi (2005) komitmen “pendidikan inklusif”.
Kendati demikian, selama ini masih ada beberapa persoalan prinsip yang menyangkut pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah. Di satu sisi, sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan inklusif hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Sedangkan secara konsep filosofis, sebenarnya inklusi adalah wadah semua anak berkebutuhan khusus, termasuk diantaranya anak-anak yang kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata.

2.11 Kurikulum Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK )
Kurikulum ABK
Kurikulum adalah seperangkat rencana pembelajaran yang didalamnya menampung pengaturan tentang tujuan, isi, proses, dan evaluasi. Dengan demikian kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang dirancang, diberlakukan dan diimplementasikan dalam satu lembaga atau satuan pendidikan tertentu. Selanjutnya silabus merupakan rancangan pembelajaran yang disusun oleh guru selama satu semester. Sedangkan RPP sebagai rencana pembelajaran yang di susun guru untuk satu atau bebrapa pertemuan dengan peserta didik.
Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan  menjadi empat, yakni:
1.    Duplikasi Kurikulum
Yakni ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan siswa rata-rata/regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.
2.       Modifikasi Kurikulum
Yakni kurikulum siswa rata-rata/regular disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk peserta didik gifted and talented.
3.       Substitusi Kurikulum
Yakni beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya.
4.       Omisi Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata.












BAB III
PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan-perbedaan baik perbedaan interindividual maupun intraindividual yang signifikan dan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga untuk mengembangkan potensinya dibutuhkan pendidikan Penanganan pendidikan untuk anak-anak ABK dapat berbentuk model segregasi (Contohnya SLB), kelas khusus, SDLB, guru kunjung, sekolah terpadu, dan pendidikan inklusi. Sedangkan Personil/tenaga yang terlibat dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan ABK, meliputi: guru, konselor, tenaga medis, psikolog dan personil lain yang dibutuhkan.

3.2     SARAN
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sekolah inklusif sehingga anak yang berkebutuhan khusus yang berbakat dapat menyakurkan bakat mereka. Pemerintah juga harus mensosialisasikan adanya sekolah inklusif agar sekolah inklusif diketahui keberadaanya, dan masyarakat tidak lagi meremehkan sekolah inklusif bahwa anak-anak inklusif juga bisa berprestasi layaknya anak normal. memberikan layanan bagi Anak Berkebutuhan Khusus dengan baik dan benar, dan kita bisa memberikan pelayanan terbaik bagi anak yang berkebutuhan khusus.














DAFTAR PUSTAKA

Khoerunisa, Ciska. 2013. Model dan Bentuk Layanan Anak Berkebutuhan Khusus.
Wulandari, asyrulli. 2014. Pendidikan Inklufif. http://www.asyruliwulandari.wordpress.com. Diunduh
pada tanggal 09 November 2016 Pkl 13 : 00 WIB.