TUGAS PROBLEM PEMBELAJARAN MIPA
Tugas ini
diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Problem Pembelajaran Mipa
Disusun Oleh
Nama :
Penny Endah Alpiany
Nim :
20167270137
Kelas : 1b
No. Absen : 9
Dosen : Dr. Mamik Suendarti
PROGRAM STUDI
MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS
INDAHPRASTA PGRI (UNINDRA)
JAKARTA
2016
Kata
Pengantar
Segala puji
dan syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan limpahan
rahmat-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat
waktu.
Berikut ini
kelompok kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Jaringan Kerja
Interaktif ", yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi
kita untuk mempelajari penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
dengan memberikan pendidikan inklusif.
Melalui kata
pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana
isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau
menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini
kami membuat makalah dengan penuh rasa terima kasih, dan semoga Allah SWT memberkahi
makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Jakarta, November 2016
DAFTAR ISI
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ………………………………………………………………1
1.2 Rumusan
Masalah ………………………………………………………………1
1.3 Tujuan
………………………………………………………………1
2.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Jaringan Kerja Interaktif ………………………………………2
2.2 Macam – macam
Jaringan Kerja Interaktif ………………………………………3
2.3 Pengertian Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………………………………4
2.4 Klasifikasi
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………………………………6
2.5 Sejaran
Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………………..8
2.6 Pengertian
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………………...11
2.7 Landasan Hukum
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ……………...13
2.8 Macam-macam
Sistem Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) …….…..17
2.8.1
Bentuk
Layanan Pendidikan Segregasi …………………………………….17
2.8.2
Bentuk
Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi …………………………20
2.9 Kelemahan dan
Kelebihan Sistem Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) …………………………………………………………………………………………..21
2.10
Pendidikan Inklusif ……………………………………………………………….22
2.10.1
Pengertian Pendidikan Inklusif ……………………………………………..22
2.10.2 Manfaat
Pendidikan Inklusif ………………………………………………..23
2.10.3 Ciri
– Ciri Pendidikan Inklusif ……………………………………………...24
2.10.4 Kelebihan
Pendidikan inklusif ……………………………………………....24
2.10.5
Tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus …
..24
2.10.6 Model
Pendidikan Inklusif …………………………………………………..24
2.10.7 Implementasi
Pendidikan Inklusif ………………………………………….26
2.11
Kurikulum Anak Berkebutuhan Khusus (
ABK ) .... .………………………… 27
3.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan ……………………………………………………………………………29
3.2
Saran …………………………………………………………………………………..
29
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….30
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Layanan pendidikan merupakan
satu kajian penting untuk memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus
(ABK), yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya dan
membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang
menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan.
Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian
layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan
dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat
dilakukan secara optimal.
Pendidikan inklusi merupakan
seseuatu yang baru di dunia pendidikan Indonesia. Istilah pendidikan inklusif
atau inklusi,
mulai mengemuka sejak tahun 1990, ketika konferensi dunia tentang pendidikan
untuk semua, yang diteruskan dengan pernyataan salamanca tentang pendidikan
inklusif pada tahun 1994.
Pendidikan inklusif memiliki prinsip dasar
bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Tetapi yang
membedakan adalah masyarakatnya, mereka berpandangan bahwa sekolah inklusif
hanya untuk siswa berkebutuhan khusus dan belum sepenuhnya wali murid percaya
pada sekolah inklusif ada yang lebih memilih home schooling untuk anak mereka,
yang menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana agar sekolah inklusif tidak
dipandang rendah oleh masyarakat? dan bagaimana sekolah inklusif mendapat
kepercayaan dari masyarakat agar anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus disekolahkan
di sekolah inklusif? itulah yang menjadi tugas pemerintah untuk memberdayakan
sekolah inklusif lebih baik lagi dan mendapat kepercayaan dikalangan masyarakat
1.2 Rumusan masalah
- Bagaimana model layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
- Apa yang dimaksud dengan pendidikan insklusif?
- Bagaimana model pendidikan insklusif?
- Bagaimana kurikulum yang terdapat di dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui layanan bagi anak berkebutuhan khusus
- Mengetahui dan memahami model layanan bagi anak berkebutuhan khusus
- Mengetahui pengertian dari pendidikan inklusif serta bagaimana implementasinya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Jaringan Kerja Interaktif
Pembelajaran Interaktif merupakan salah satu
model pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik
siswa. Pembelajaran terdapat Komponen–komponen pembelajaran
ditinjau dari pendekatan sistem, maka dalam prosesnya suatu
pembelajaran akan melibatkan berbagai komponen, diantaranya:
tujuan, guru, peserta didik, materi, metode, media
serta evaluasi.
Model pembelajaran interaktif sering dikenal dengan
nama pendekatan pertanyaan anak. Model ini dirancang agar siswa akan bertanya
dan kemudian menemukan jawaban pertanyaan mereka sendiri (Faire & Cosgrove
dalam Harlen, 1992). Meskipun siswa mengajukan pertanyaan dalam kegiatan bebas,
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terlalu melebar dan seringkali kabur
sehingga kurang terfokus. Guru perlu mengambil langkah khusus untuk
mengumpulkan, memilah, dan mengubah pertanyaan-pertanyaan tersebut ke dalam
kegiatan khusus. Pembelajaran interaktif merinci langkah-langkah ini dan
menampilkan suatu struktur untuk suatu mata pelajaran yang melibatkan
pengumpulan dan pertimbangan terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa sebagai pusatnya
(Harlen, 1992:48-50).
Tahapan dalam model pembelajaran
interaktif menurut Faire dan Cosgrove dalam Harlen (1996: 28) terdiri dari
persiapan pengetahuan awal, kegiatan eksplorasi,
pertanyaan siswa, penyelidikan, pengetahuan akhir dan refleksi.
Kelebihan model pembelajara interaktif menurut
Nurhasanah, (2004:17) diantaranya:
·
Siswa lebih banyak kesempatan untuk melibatkan
keingintahuannya pada objek yang akan dipelajari
·
Melatih siswa untuk mengungkapkan rasa ingin tahu
melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa mupun guru
·
Memberikan sarana bermain bagi siswa melalui kegiatan
eksplorasi dan investigasi
·
Guru sebagai fasilitator
·
Guru Sebagai motivator
·
Guru Sebagai perancang aktivitas belajar, Hasil
belajar akan lebih bermakna
2.2 Macam – macam Jaringan Kerja Interaktif
Pembelajaran, Menurut Usman ( 2000 : 4 ) “ … proses
pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru
dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu” Proses pembelajaran merupakan
interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam pembelajaran yang satu
sama lain saling berhubungan dalam sebuah rangkaian untuk mencapai tujuan.
Menurut Sudjana ( 1989 : 30 ) yang termasuk dalam komponen pembelajaran adalah
“ tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian “Metode mengajar yang
digunakan guru hampir tidak ada yang sisa-sia, karena metode tersebut
mendatangkan hasil dalam waktu dekat atau dalam waktu yang relatif lama.
Hasil yang dirasakan dalam waktu dekat dikatakan
seabagi dampak langsung (Instructional effect) sedangkan hasil yang dirasakan
dalam waktu yang reltif lama disebut dampak pengiring (nurturant effect)
biasanya bekenaan dengan sikap dan nilai. (Syaiful Bahri Djamarah, 2000,194) Macam-macam Metode Pembelajaran :
1. METODE
CERAMAH
Metode ceramah adalah metode yang boleh dikatakan
metode tradisonal. Karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat
komunikasi lisan antara guru dan anak didik dalam interaksi edukatif.
2.
METODE PROYEK
Metode proyek adalah suatu cara mengajar yang
memberikan kesempatan kepada anak didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan
sehari-hari sebagai bahan pelajarannya. Bertujuan agar anak didik tertarik
untuk belajar.
3.
METODE EKSPERIMEN
Metode eksperimen adalah metode pemberian
kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan
suatu proses atau percobaan. Dengan metode ini anak didik diharapkan sepenuhnya
terlibat merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, menemukan fakta,
mengumpulkan data, mengendalikan variabel, dan memecahkan
masalah yang dihadapinya secara nyata.
4.
METODE PEMBERIAN TUGAS DAN RESITASI
Pemberian tugas dengan arti guru menyuruh anak
didik misalnya membaca, tetapi dengan menambahkan tugas-tugas seperti mencari
dan membaca buku-buku lain sebagai perbandingan, atau disuruh mengamati
orang/masyarakatnya setelah membaca buku itu. Dengan demikian, pemberian tugas
adalah suatu pekerjaan yang harus anak didik selesaikan tanpa terikat dengan tempat.
5.
METODE DISKUSI
Diskusi adalah memberikan altematif jawaban untuk
membantu memecahkan berbagai problem kehidupan. Dengan catatan persoalan yang
akan didiskusikan harus dikuasai secara mendalam.
6.
METODE LATIHAN
Metode latihan (driil) disebut juga metode
training, yaitu suatu cara mengajar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan
tertentu. Juga, sebagai sarana untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik.
Selain itu, metode ini dapat digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan,
ketepatan, kesempatan, dan keterampilan.
7.
PICTURE AND PICTURE
8.
NUMBERED HEAD TOGETHER ((KEPALA BERNOMOR) (SPENCER
KAGAN, 1992)
9.
COOPERTIVE SCRIPT (DANSEREAU CS., 1985)
10.
KEPALA BERNOMOR STRUKTUR (MODIFIKASI DARI NUMBER
HEADS)
11.
JIGSAW (MODEL TIM AHLI) (ARONSON, BLANEY, STEPHEN,
SIKES, AND SNAPP, 1978)
12.
ARTIKULASI
13.
MIND MAPPING
14.
MAKE – A MATCH (MENCARI PASANGAN)
15.
THINK PAIR AND SHARE (FRANK LYMAN, 1985)
16.
BERTUKAR PASANGAN
17.
SNOWBALL THROWING
18.
TEBAK KATA
19.
KELILING KELOMPOK
20.
COURSE REVIEW HORAY
2.3 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Konsep anak berkebutuhan khusus
memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan
yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak dikatakan berkebutuhan
khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya. Menurut
Heward, anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan
mental, emosi atau fisik.
Secara umum rentangan anak
berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu :
1. ABK yang
bersifat permanen, yaitu akibat dari kelainan tertentu.
2. ABK yang
bersifat temporer, yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan
perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Misalnya, anak
yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat kerusuhan dan bencana
alam, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang
mengalami kewibahasaan (perbedaan bahasa di rumah dan di sekolah), anak yang
mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena isolasi budaya dank arena
kemiskinan dsb. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan
interverensi yang tepat dan sesuai dengan hambatan belajarnya bisa menjadi
permanen.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat
permanen maupun yang temporer, memiliki perkembangan hambatan belajar dan
kebutuhan belajar yang berbeda.-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap
anak, disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1. Factor lingkungan
2. Factor dalam
diri anak sendiri
3. Kombinasi
antara factor lingkungan dan factor dalam diri anak.
Mereka yang digolongkan pada anak yang berkebutuhan
khusus dapat dikelompokkan berdasarkan gangguan atau kelainan aspek:
1. Fisik/motorik,
misalnya cerebral palsi, polio, dan lain-lain
2.
Kognitif : mental retardasi, anak unggul (berbakat)
3.
Bahasa dan bicara
4.
Pendengaran
5.
Penglihatan
6.
Social emosi
Anak tersebut membutuhkan metode, material, pelayanan
dan peralatan yang khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Karena
anak-anak tersebut mungkin akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga
dengan cara yang berbeda pula. Walaupun mereka memiliki potensi dan kemampuan
yang berbeda dengan anak-anak secara umum, mereka harus mendapat perlakuan dan
kesempatan yang sama. Hal ini dapat dimulai dengan cara penyebutan terhadap
anak dengan kebutuhan khusus.
2.4 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Dalam ABK dikenal istilah-istilah
sebagai berikut :
1. Awas (low
vision)
Yaitu seseorang dikatakan kurang awas bila ia masih
memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa sehingga masih dapat sedikit melihat
atau masih bisa membedakan gelap dan terang.
2. Lemah
pendengaran (hard of hearing)
Jika mereka kehilangan kemampuan mendengar berkisar
antara 35-69 dB, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mendengar tetapi
tidak terhalang baginya untuk mengerti pembicaraan orang lain walaupun dengan
menggunakan atau tidak menggunakan alat bantu dengar (Moores, 1987:5)
3. Terbelakang
mental (retardasi mental)
Yaitu suatu keadaan dengan intelegensia yang kurang
(sub normal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak),
yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada di bawah rata-rata dan
disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berperilaku
adaptif.
4. Kelayuhan
otak (cerebral palcy)
Cerebral palcy menurut artinya berasal dari kata
cerebral atau cerebrum yang artinya otak. Dan palsy artinya kekakuan. Jadi
Cerebral Palsy artinya kekakuan yang disebabkan kelainan di dalam otak.
Sebenarnya anak yang menderita cerebral palsy tidak selalu menunjukkan
kekakuan, tetapi dapat juga menunjukkan kelayuan atau getaran atau ketidak
sempurnaan bergerak.
5. Emotionaly
disturbed
Yaitu kelompok anak yang terganggu atau terhambat
perkembangan emosinya, dengan menunjukkan adanya gejala ketegangan atau konflik
batin, menunjukkan kecemasan, penderita neurotis atau bertingkah laku psikotis.
6. Socialy
maladjusted
Yaitu kelompok anak yang tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial. Kelompok anak ini menunjukkan tingkah laku yang tidak
sesuai dengan ukuran “cultural permissive” atau norma-norma masyarakat dan
kebudayaan yang berlaku baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat.
7. Emotionally
handicapped
Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped
atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M. Bower
(1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan
perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut
ini:
a. Tidak mampu
belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual
b. Sonsori atau
kesehatan
c. Tidak mampu
untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru
d. Bertingkah
laku atau berperasaan tidak pada tempatnya
e. Secara umum
mereka selalu dalam keadaan tidak gembira tau depresi dan
bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang
berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006)
8. Psikotik
Yaitu kelompok anak gangguan emosi pada taraf berat
dan sangat berat, dengan gejala mengalami disorientasi waktu, ruang, atau
ketiga-tiganya. Shizoprenia yaitu tidak bisa membedakan antara halusinasi dan
kenyataan merupakan gejala paling umum pada kelompok ini. Untuk menyembuhkan
kelompok ini dibutuhkan tenaga profesional dan kemungkinan untuk dirawat di
rumah sakit jiwa.
9. Autis IQ
Adalah salah satu defisit perkembangan pervasif pada
awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang
ditandai dengan ciri pokok yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial,
bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif,
stereotipik dan obsesif (Budiman, 1997)
10. Attention
Deficit and Hyperactive Disorder (ADHD)
Adalah suatu peningkatan aktifitas motorik hingga pada
tingkatan tertentu yang menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya
pada dua tempat dan suasana yang berbeda. Aktifitas anak yang tidak lazim dan
cenderung berlebihan ditandai dengan gangguan perasaan gelisah, selalu
menggerak-gerakkan jari tangan, kaki, pensil, tidak dapat duduk dengan tenang dan
selalu meninggalkan tempat duduknya meskipun pada saat dia seharusnya duduk
dengan tenang.
11. Down
syndrome
Merupakan kelainan kromosom yakni terbentuknya
kromosom 21 akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri
saat terjadi pembelahan. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan
pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh
Dr. John Longdon Down karena ciri-ciri yang aneh seperti tinggi badan yang
relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia,
maka sering juga dikenal dengan istilah Mongoloid.
2.5 Sejaran Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK)
Pendidikan kebutuhan khusus
dapat secara singkat dijelaskan sebagai pendidikan bagi orang yang berkebutuhan
khusus dan menyandang kecacatan. Fokus utamanya adalah kemungkinan dan hambatan
dalam pengajaran dan belajar yang terdapat dalam faktor-faktor masyarakat,
dalam praktek dan teori pendidikan, dan dalam pluralitas kebutuhan khusus
individu dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, pendidikan kebutuhan khusus
merupakan sebuah disiplin pendidikan dengan orientasi baru yang didasari hasil
pemikiran yang kritis.
Pendidikan kebutuhan khusus
merupakan disiplin ilmu yang masih muda dengan akar yang sudah tua, yang
membentang dari kebudayaan kuno Mediterania hingga sejarah modern
a. Siswa yang berkebutuhan khusus
di awal sejarah sekolah umum
Dalam konteks Eropa, sekolah
dasar di Norwegia mempunyai sejarah yang sangat panjang sejak pengesahannya
secara resmi oleh Raja Christian VI pada tahun 1739. Fondasi sekolah ini, yaitu
“untuk semua dan setiap orang”, merupakan upaya utama dalam bidang pendidikan
pada waktu itu. Sejak awal tahun 1739, dibuat keputusan bahwa sekolah harus
untuk “semua dan setiap orang”. Sejak waktu itu, sekolah bebas biaya. Namun,
dalam kaitannya dengan kepedulian kita dewasa ini, pertanyaan kuncinya adalah
apakah sekolah itu benar-benar bagi semua orang, termasuk anak-anak penyandang
cacat dan berkebutuhan khusus yang memerlukan dukungan pendidikan. Seberapa
besarkah kesadaran para pendeta pietistic yang idealis, yang berhasil
mengembangkan proyek pendidikan yang sangat besar ini, akan kenyataan bahwa
anak-anak berbedar-beda dalam cara belajarnya dan kebutuhannya akan dukungan.
Erik Pontoppidan (1698-1764)
adalah salah seorang penggagas utama sekolah baru ini. Atas perintah Raja, dia
membuat buku pelajaran pertama, yang disebut Penjelasan Pontoppidan, yang
menjadi buku teks yang paling banyak digunakan sepanjang sejarah sekolah dasar
Norwegia. Di samping itu, dia juga menulis tentang pendidikan dalam banyak teks
lainnya. Sebagai Uskup Bergen, dia telah berusaha keras untuk menerapkan
undang-undang baru tentang sekolah untuk semua orang, di antaranya dengan
mendirikan lembaga pendidikan guru yang pertama di seluruh negeri (yang
sayangnya hanya bertahan dalam waktu yang singkat).
b. Sejarah pendidikan bagi
penyandang cacat di Eropa
Mengenai pendidikan bagi orang
dengan berbagai jenis kecacatan, gambaran umum sejarah menunjukkan adanya
perkembangan dari upaya-upaya pendidikan yang sporadis, ke keingintahuan
filosofis, hingga didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus
lainnya. Dari sejarah, kita dapat melihat kilasan-kilasan tentang berbagai
kondisi para penyandang cacat mulai dari zaman Mesir Kuno, Yunani kuno, Injil
dan Qur’an, dan sejumlah teks abad ke-18. Serpihan-serpihan dokumentasi itu
memberi kesan tentang adanya sikap yang mendua, antara perawatan, kasih sayang
dan minat pada satu pihak, dan, di pihak lain, kurangnya tanggung jawab,
eksklusi dan kecenderungan yang meningkat untuk mengelompokkan orang
berdasarkan jenis kecacatannya. Tidak mengherankan bahwa dokumentasi tentang
upaya-upaya pendidikan itu hanya merupakan sebagian kecil dari informasi yang
ada mengenai orang-orang yang menyandang kecacatan, mengingat bahwa pendidikan
formal merupakan hak istimewa bagi sebagian kecil orang pada awal sejarah.
Model huruf ukiran untuk orang
tunanetra ditemukan pada zaman Mesir kuno, dan juga pada zaman Renaissance di
Eropa ketika Erasmus dari Rotterdam (1469- 1536) juga menggunakan alfabet
ukiran dalam pelatihan keterampilan menulis bagi siswa-siswa yang awas.
Informasi lain mengatakan bahwa sejak abad kelima telah ada berbagai kelompok
orang tunanetra yang dapat mencukupi dirinya sendiri dan yang mengatur
pelatihan pekerjaan internal. Satu contoh tentang mengajarkan membaca bibir
kepada orang tunarungu ditemukan di Keuskupan York pada abad kedelapan. Namun,
menurut Enerstvedt (1996), pengetahuan mengenai cara mendidik orang yang
tunarungu berat mulai disebarkan dari apa yang disebut “revolusi Spanyol yang
tidak begitu terkenal” ke berbagai bagian benua Eropa lainnya dan kepulauan
Inggris pada akhir abad ke-16.
Bagaimana orang dapat belajar
jika satu indera tidak berfungsi? Girolam Cardano (1501- 1576) memperkenalkan
pendapat bahwa indera-indera itu saling menggantikan, sehingga bila indera
penglihatan atau pendengaran hilang, indera lain akan berfungsi sebagai dasar
bagi aktivitas kognitif dan belajar (Befring 1994; Enerstvedt 1886). Ketika
filosof empiris Inggris John Locke (1632-1704), memfokuskan kembali tentang
pentingnya fungsi indera-indera untuk belajar dan pemahaman, pandangannya menjadi
titik awal bagi rasa ingin tahu filosofi baru dan sedikit demi sedikit juga
minat pendidikan. Metode pengajaran bagi orang yang menyandang ketunarunguan
dan ketunanetraan berat muncul dalam agenda resmi. Paris menjadi tuan rumah
yang baik bagi perkembangan berbagai pendekatan khusus, dan minat orang meluas
untuk juga mencakup perlakuan bagi penyakit jiwa dan gangguan perkembangan yang
parah. Dari Paris gagasan tentang pendidikan khusus menyebar ke seluruh Eropa
dan benua lain.
Ketika Edward Seguin (1812-1880)
beberapa tahun kemudian mulai mengajar seorang anak laki-laki yang tunagrahita
dengan bantuan dari Itard dan Esquirol, Seguin menjadi pendiri sebuah sekolah
khusus bagi anak tunagrahita. Dia tidak hanya mencari inspirasi dari pergerakan
pendidikan khusus sebelumnya di Paris, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran
pendidikan umum Comenius, Locke dan Rousseau, juga dari filsafat dan agama
Kristen. Dengannya dimulailah era eksperimen pendidikan yang optimistik dalam
bidang ketunagrahitaan, yang tersebar luas ke beberapa negara Eropa dan Amerika
Serikat, karena Seguin mengembangkan karyanya lebih lanjut di “Dunia Baru” di
seberang lautan Atlantik (Askildt & Johnsen 2001).
Optimisme ini juga mencapai
negara-negara Nordik sebagaimana tergambar dalam judul buku yang ditulis oleh
seorang dokter dari Denmark, Jens R. Hübertz (1794-1855), Weakmindedness or Idiocy and
Its Curability. Judul tersebut menggambarkan bahwa optimisme tidak
hanya terbatas pada pendidikan. Judul ini juga menyiratkan adanya harapan untuk
menyembuhkan ketunagrahitaan. Hübertz mendirikan sebuah lembaga bagi orang
tunagrahita, “Gamle Bakkehus” (Rumah Bukit Tua) pada tahun 1855, di mana
sejumlah kecil orang dari negara-negara Nordik ditempatkan bersama mayoritas
terbesar warga Denmark (Nørr 2001).
Di Norwegia inisiatif
pendidikan resmi yang pertama dalam bidang ini adalah dibukanya sebuah sekolah
siang pada tahun 1874, diikuti oleh pendirian sebuah sekolah khusus bagi anak
tunagrahita. Salah seorang perintis di sini adalah Johan A. Lippestad (1844-1913).
Segera menjadi jelas bahwa tidak semua anak yang masuk sekolah ini dapat
belajar mengikuti silabus yang ditetapkan sebelumnya, akibat tingkat kemampuan
intelektual mereka (dan tentu saja juga akibat tingkat kognitif yang dituntut
oleh silabusnya). Akibatnya, saudara perempuan Lippestad, Emma Hjorth
(1858-1821) membeli sebidang tanah di luar ibu kota dan mendirikan sebuah
lembaga bagi orang tunagrahita berat, yang kemudian dia serahkan kepada
kementrian pendidikan (tutvedt 2001). Beberapa tahun setelah pendirian sekolah
khusus pertama bagi siswa tunagrahita, Norwegia menetapkan undang-undang
Pendidikan Khusus pertama, tahun 1881. Ini adalah undang-undang yang berkaitan
dengan sekolah khusus bagi anak-anak tunanetra, tunarungu atau tunagrahita.
Namun, meskipun ada
undang-undang ini, mayoritas anak tunagrahita masih tidak mempunyai sekolah
selama bertahun-tahun kemudian, walaupun situasinya lebih baik bagi anak-anak
yang tunarungu dan tunanetra.
Menurut sejarah kita dapat
melihat bahwa wacana serta praktek pendidikan kebutuhan khusus berisi ide-ide
dan tradisi lama yang bercampur baur dan dimodifikasi dengan aliran pemikiran
baru yang senantiasa diperbaharui. Beberapa di antara ide itu dikembangkan
melalui sistem sekolah reguler. Sebagaimana dibahas pada awal artikel ini,
ide-ide mengenai pembedaan penggunaan materi pembelajaran serta pendidikan yang
diadaptasikan secara individual diujicobakan pada awal wajib belajar pendidikan
dasar. Tanda-tanda awal fleksibilitas ini didasarkan atas pengetahuan bahwa anak-anak
berbeda dalam caranya belajar dan bahwa anak-anak tertentu lebih membutuhkan
bantuan daripada anak lain. Ide-ide dan langkah-langkah yang spesifik juga
telah dikembangkan dalam tradisi sekolah khusus. Penggunaan bahasa isyarat dan
membaca bibir bagi orang yang tunarungu, dan alfabet ukiran untuk dibaca dengan
indera perabaan oleh orang tunanetra merupakan contoh klasik yang berakar pada
hasil pemikiran masa lampau.
Namun, telah pula
didokumentasikan bahwa sejarah pendidikan reguler maupun pendidikan kebutuhan
khusus bukan alur yang lurus dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik,
dari kegelapan menuju terang dalam pengetahuan dan sikap terhadap orang-orang
yang berkebutuhan khusus. Sebaliknya, penelitian dalam sejarah menunjukkan
adanya gabungan antara bermacam-macam tradisi dan gagasan, sebagian dengan
konsekuensi positif bagi para pewarisnya, sebagian lagi dengan konsekuensi
negatif yang ekstrim. Seiring dengan berlalunya waktu, ide-ide tertentu saling
mendukung, yang lainnya saling bertentangan atau saling mengubah, sehingga ide
aslinya tidak dapat dikenali lagi. Ada ide yang menghambat perbaikan kondisi
para penyandang cacat, tetapi ada pula yang mendukung kondisi kehidupan yang
lebih baik dan mendukung belajarnya sebagaimana telah digambarkan dalam artikel
ini. Selalu ada bermacam-macam gagasan dan tradisi yang diperjuangkan untuk
memperoleh posisi istimewa di dalam wacana tersebut. Inilah yang juga terjadi
sekarang dan hampir pasti akan pula terjadi di masa datang. Maka dari itu, kita
harus mempertahankan, mengembangkan dan mengadaptasikan ide-ide yang baik untuk
mengubah kondisi sekolah dan kondisi masyarakat secara keseluruhan.
2.6 Pengertian Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK)
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam
ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan.
istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan
yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra
mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi
menggunakan bahasa isyarat.
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas,
bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus.
Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan
pendidikan jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Jadi Pendidikan Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Untuk jenjang pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan
bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra;
b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g.
berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan
motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat
adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.
Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 Tahun 2010 Pendidikan
khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur
dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. (2)
Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan
khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan
pendidikan keagamaan. Pasal 133 ayat (4)menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan
pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi antarjenjang pendidikan
dan/atau antarjenis kelainan.
Integrasi antar jenjang dalam bentuk Sekolah Luar
Biasa (SLB) satu atap, yakni satu lembaga penyelenggara mengelola jenjang TKLB,
SDLB, SMPLB dan SMALB dengan seorang Kepala Sekolah. Sedangkan Integrasi antar
jenis kelainan, maka dalam satu jenjang pendidikan khusus diselenggarakan
layanan pendidikan bagi beberapa jenis ketunaan. Bentuknya terdiri dari TKLB;
SDLB, SMPLB, dan SMALB masing-masing sebagai satuan pendidikan yang berdiri
sendiri masing-masing dengan seorang kepala sekolah.
Altenatif layanan yang paling baik untuk kepentingan
mutu layanan adalah INTEGRASI ANTAR JENIS. Keuntungan bagi penyelenggara
(sekolah) dapat memberikan layanan yang tervokus sesuai kebutuhan anak seirama
perkembangan psikologis anak. Keuntungan bagi anak, anak menerima layanan
sesuai kebutuhan yang sebenarnya karena sekolah mampu membedakan perlakuan
karena memiliki fokus atas dasar kepentingan anak pada jenjang TKLB, SDLB,
SMPLB, dan SMALB.
Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak
yang menggunakan Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga
dengan integrasi antar jenis. Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi
padahal sebenarnya sangat merugikan anak karena dalam praktiknya seorang guru
yang mengajar di SDLB juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang
diberikan kadang sama antara kepada siswa SDLB, SMPLB dan SMALB. Secara
kualitas materi pelajaran juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis
karena tidak menghargai perbedaan karakteristik rentang usia.
Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai
dengan kekhususannya di Indonesia dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB
bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk
tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Pemerintah sebenarnya ada kesempatan memberikan
perlakuan yang sama kepada Anak Indonesia tanpa diskriminasi. Coba renungkan
kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri untuk anak bukan ABK,
mengapa tidak bisa mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri bagi
ABK. Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah dan DIY baru Pemerintah
Kabupaten Cilacap yang berkenan mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB
Negeri masing-masing berdiri sendiri sebagai satuan pendidikan formal.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap tidak mempermasalahkan kewenangan siapa
pengelolaan satuan pendidikan khusus, akan tetapi semata-mata didasari oleh
kebutuhan masyarakat sebagai warga negara yang berdomisili di wilayahnya.
2.7 Landasan Hukum Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK)
Penerapan pendidikan inklusif di Indonesia dilandasi
oleh:
1.
Landasan
filosofis
Landasan filosofis bagi pendidikan Inklusif di
Indonesia yaitu:
a. Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang Negara burung Garuda yang
berarti “bhineka tunggal ika”. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat,
keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan dalam NKRI.
b. Pandangan
agama (khususnya islam): manusia dilahirkan dalam keadaan suci, kemuliaan
manusia di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi takwanya, allah
tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, manusia
diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturrahmi.
c. Pandangan
universal hak azasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk
hidup layak, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
d. Pendidikan
inklusi merupakan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalyang
dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain
yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun
psikologis.
2.
Landasan
yuridis
a. Nasional
1) UUD 1945
(amandemen) pasal 31
a) Ayat(1):
“setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
b) Ayat(2):
“setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”
2) UU No. 20
tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 5
a) Ayat(1):
setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
b) Ayat(2):
warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, intelektual, dan atau
social berhak memperoleh pendidikan khusus
c) Ayat(3):
warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus
d) Ayat(4):
warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.
3) UU No. 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak
a) Pasal 48:
pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (Sembilan) tahun
untuk semua anak.
b) Pasal 49:
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
4) UU No. 4
tahun 1997 tentang penyandang cacat
Pasal 5: setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
5) Permendiknas
No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa
6) Surat Edaran
Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 20 januari 2003: “setiap
kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan di
sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP,SMA, SMK.
7) Deklarasi
Bandung: “Indonesia menuju pendidikan inklusif” tanggal8-14 agustus 2004
a) Menjamin
setiap anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya mendapatkan kesempatan
akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan,
social, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi
generasi penerus yang handal
b) Menjamin
setiap anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya sebagai individu yang
bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang
bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan
diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis,
ekonomis, sosiologis, hokum, politis maupun kultural
c) Menyelenggarakan
dan mengembangkan pengelolaan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi anak
berkelainan dan anak berkelainan lainnya, sehingga memungkinkan mereka dapat
mengembangkan keunikan potensinya secara optimal
d) Menjamin
kebebasan anak berkelainan dan anak berkelainan lainnya untuk berinteraksi baik
secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun, dan di lingkungan
manapun, dengan meminimalkan hambatan
e) Mempromosikan
dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa, forum
ilmiah, pendidikan dan pelatihan dan lainnya secara berkesinambungan
f) Menyususn
rencana aksi (action plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas fisik
dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi,
kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anaka berkelainan lainnya
g) Pendidikan
inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif antara
pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industry,
orang tua serta masyarakat.
b. Internasional
1) Salamanca
statement and framework for action on special needs education (1994) Article 2 : We believe
and pro claim that:
a) EVERY CHILD
HAS A FUNDAMENTAL RIGHT TO EDUCATION, and must be given the opportunity to
achieve and maintain and acceptable level of learning
b) EVERY CHILD
has UNIQUE CHARACTERISTIC, INTERESTS, ABILITIES, and LEARNING NEEDS
c) Educations
systems should be designed and educational programmes implemented to take into
account the WIDE DIVERSITY OF THESE CHARACTERISTIC and NEEDS
d) Those with
SPECIAL EDUCATIONAL NEEDS MUST BE ACCESS TO REGULAR SCHOOLS which should
accommodate them within should a child centred pedagogy capable of meeting
these needs
e) REGULAR
SCHOOLS WITH THIS INCLUSIVE ORIENTATION are the most effective means of
COMBATING DISCRIMINATORY ATTITUDES, CREATING WELCOMING COMMUNITIES BUILDING IN
INCLUSIVE SOCIETY AND ACHIEVING EDUCATION FOR ALL; more over, they provide an
effective education to the majority of children and improve the efficiency and
ultimately the cost-effectiveness of entire education system
2) Deklarasi
Bukittinggi tahun 2005
a) Sebuah
pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan
menjamin bahwa strategi nasional untuk “Pendidikan Untuk Semua” adalah
vbenar-benar untuk semua
b) Sebuah cara
untuk menjamin bahwa semua memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari
program-program untuk perkembangan anak usia dini, pra-sekolah, pendidikan
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan enklusi
c) Sebuah
kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan mengnhormati
perbedaan individusemua warga Negara
3.
Landasan
pedagogis
Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang
sisdiknas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi melalui
pendidikan, peserta didika berkelaian
dibentuk menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab,
yaitu individu yang mampu menghargai peerbedaan dan berpartisipasi dalam
masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan
dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka
harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
4.
Landasan
empiris
Penelitian
tentang inklusi telah banyak dilakukan di Negara-negara barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar yang dipelopori oleh the National Academy
of Science (AS). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak
berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak effective dan
diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat
(Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepa, karena karakteristik
mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995)
Prisoner
(2003) yang melakukan survey pada kepala sekolah tentang sikap mereka terhadap
pendidikan inklusif menemukan bahwa hanya satu dari lima sekolah tersebut yang
memiliki sikap postif tentang penerapan pendidikan inklusif. Dalam suatu
penelitian menemukan bahwa guru-guru dalam sekolah inklusif lebih memiliki
sikap positif terhadap peran guru
inklusi dan dampaknya daripada guru pada sekolah regular. Meyer (2001)
mengatakan bahwa siswa yang memiliki kecacatan yang cukup ditemukan untuk
memiliki keberhasilan yang lebih besar
manakala mereka memperoleh pendidikan dalam lingkungan yang menerima mereka
khususnya yang berkaitan dengan hubungan social dan persahabatan mereka dengan
masyarakatnya
2.8
Macam-macam Sistem Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK)
2.8.1
Bentuk
Layanan Pendidikan Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi
adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal.
Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah
penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari
penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak
berkebutuhan kusus diberikan layanan pendidikan pada pada lembaga pendidikan
khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah
Dasar Luar Bias, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas
Luar Biasa.
Sistem pendidikan segregasi
merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini
diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keragaman terhadap kemampuan
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu,
adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan
layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan
khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna netra, mereka memerlukan layanan
khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tuna rungu memerlukan
komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna daksa memerlukan layanan
mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi
fisiknya.
Ada empat bentuk pelayanan
pendidikan dengan sistem segregasi yaitu:
a)
Sekolah
Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang
paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya,
penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat
lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah.
Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai
dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja) sehingga ada SLB untuk tuna netra
(SLB-A), SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB
untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E). Di setiap SLB
tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada
pula yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB
untuk Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tuna
netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi karena jjumlah
anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
b)
Sekolah
Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar
biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB bersrama
tinggal di asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan
sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan
tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama
dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tuna
rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D),
dan SLB untuk tuna laras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tuna netra dan tuna
rungu.
Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program
pembelajaran yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan
empat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan
pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah,
karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
c)
Kelas
Jauh / Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan
untuk memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal
jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung merupakan
kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta
pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah
air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat
terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas
kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di
kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai
guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB
terdekat tersebut.
d)
Sekolah
Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak
berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai
kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tuna netra,
tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah,
guru untuk tuna netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita, guru
untuk tuna daksa, guru agama, dan guru olah raga. Selain tenga kependidikan, di
SDLB dilengkapi dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan kelainan mereka,
antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapis, psikolog, speech
therapish, audiolog. Selian itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang
digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya.
Kegiatan belajat dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai
dengan ketunaan masing-masing.pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan
individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di
SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak
tuna netra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi
moobilitas; anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total
bina persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus diri
sendiri; anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi
motorik.
2.8.2
Bentuk
Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi
Bentuk layanan pendidikan
terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal belajar
dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut
juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang membawa anak
berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan
tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka
sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh
dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari
jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis
kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding
jika guru harus melyani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang
dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru
Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas,
kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga
berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada
kelas khusus.
Ada
3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah:
a)
Bentuk
Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar
di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena
itu, sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang
studi semaksimal mungkin dengan memeperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam
melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini
sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
b)
Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di
kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus
untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan
khusus bersama dengan anak noormal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di
ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan
pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan teersebut
di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan
latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di ruang
bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas.
Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
c)
Bentuk
Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti
pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada
sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini
disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus
berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan
cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara
penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat
fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk
kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga
sosialisasi pada waktu jam-jam istirahatatau acara lain yang diadakan oleh
sekolah.
2.9
Kelemahan dan Kelebihan Sistem
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
A.
Segregatif Kelebihan :
1. Sistem layanan
pendidikan luar biasa segregatif akan memberikan rasa
ketenangan pada peserta didik anak berkebutuhan khusus.
2. Terjadinya komunikasi
baik dan lancar antara guru dengan peserta didik maupun pesertadidik dengan
peserta didik lainnya.
3. Dengan adanya
seleksi yang ketat untuk pemilihan guru yang akan mendidik
langsung peserta didik anak berkebutuhan khusus, maka peserta didik akan
mendapatkan pelayanan pendidikan luar biasa yang memadai karena guru
memiliki latar belakang pendidikan luar biasa.
4. Pada pendidikan luar
biasa segregatif akan mendapatkan sarana prasarana yang sesuaiseperti alat
bantu belajar yang dirancang khusus untuk peserta didik, jumlah peserta
didiktidak lebih dari 8 orang sehingga guru dapat memberikan layanan individual
pada setiap peserta didik, Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya
dirancang denganmempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami
mendapat latihan keterampilanorientasi dan mobilitas, baik dari instruktur
O&M maupun tutor sesama disability dandapat menemukan orang disability
yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagaimodel.
5. Dengan pendidikan luar
biasa segregatif dapat membangkitkan rasa ingin diakui bagisetiap peserta didik
anak berkebutuhan khusus terutama dalam memperoleh pendidikan
Kelebihan :
·
Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan
anak dan kondisi keluarga,
·
Kegiatan pembelajarannya bisa lebih fokus,
·
Lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas
individual yang tidak didapatkan di sekolah.
·
Memaksimalkan potensi anak SN sejak usia dini dan mengikuti
standar waktu yang ditetapkan oleh home schooling,
·
Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga
relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang,
·
Biaya pendidikan disesuaikan dengan keadaan orang tua, home
schooling dapat menjadi alternatif bentuk layanan pendidikan bagi anak autis.
Kekurangan :
·
Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua,
·
Sosialisasi dengan teman sebaya menjadi relatif rendah,
·
Anak relatif tidak terekspos dengan pergaulan yang heterogen
secara sosial,
·
Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping
ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang
tidak terprediksi sebelumnya.
·
Kematangan kepribadian anak otomatis terlambat karena jarang
terpapar dengan masalah interaksi sosial.
2.10 Pendidikan Inklusif
2.10.1
Pengertian Pendidikan Inklusif
Konsep
inklusi, dimana sistem suatu institusi atau lembaga yang menyesuaikan dengan
kebutuhan siswa. Selain itu, integrasi lebih berfokus pada kurikulum dan diatur
oleh guru, sedangkan inklusi berpusat pada siswa, dan dikembangkannya interaksi
yang komunikatif dan dialogis.
Dari
uraian tersebut sesungguhnya dikemukakan, bahwa konsep inklusif lebih
menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menurut Sapon-Shevin dalam O’Neil
(1994/1995) didefinisikan sebagai suatu sistem layanan pendidikan khusus yang
mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah
terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Untuk itu perlu adanya
restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan
kebutuhan khusus bagi setiap anak. Sejalan dengan konsep ini, Smith (2006:45)
mengemukakan, bahwa inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang mengalami
hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri
(visi-misi) sekolah. Gagasan utama mengenai pendidikan inklusif ini menurut
Johnsen (2003:181), adalah sebagai beriku :
1. Bahwa setiap anak merupakan bagian
integral dari komunitas lokalnya dan kelas dan kelompok reguler.
2. Bahwa kegiatan sekolah diatur dengan
sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif, individualisasi pendidikan dan
fleksibilitas dalam pilihan materinya.
3. Bahwa guru bekerjasama dan memiliki
pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan kebutuhan pengajaran umum, khusus
dan individual, dan memiliki pengetahuan tentang cara menghargai tentang
pluralitas perbedaan individual dalam mengatur aktivitas kelas.
Pendidikan
inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatkan pelayanan pendidikan
yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat,
kondisi ekonomi, ataupun kelainannya. Penting bagi guru untuk disadari, bahwa
di sekolah mereka dapat membuat penyesuaian pendidikan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus, manakala mereka memiliki pandangan pendidikan yang
komprehensif , yang terpusat pada anak. Meskipun mungkin masih memerlukan
pelatihan tentang metode atau strategi khusus yang akan diterapkan di sekolah.
Kesadaran
tersebut juga perlu dibangun, terutama berkenaan dengan pengembangan pendidikan
yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Ini
didasari atas pertimbangan, bahwa anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan
yang berkualitas sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Mereka juga memiliki
hak untuk belajar bersama dengan teman-teman sebayanya.
2. 10. 2 Manfaat Pendidikan Inklusif
Pendidikan
inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut-sertakan
anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah
reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan
inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum,
sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan
dengan kebutuhan individu peserta didik.
Manfaat
pendidikan inklusif adalah :
·
Membangun
kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan
sikap dan nilai yang diskriminatif.
·
Melibatkan
dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal,
mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi
alasan mengapa mereka tidak sekolah.
·
Mengidentifikasi
hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap
akses dan pembelajaran.
·
Melibatkan
masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi
semua anak.
2. 10. 3 Ciri – Ciri Pendidikan
Inklusif
· ABK belajar bersama-sama dengan anak
rata-rata lainnya
· Setiap anak memperoleh layanan
pendidikan yang layak, menantang dan bermutu
· Setiap anak memperoleh layanan
pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya
· System pendidikan menyesuaikan
dengan kondisi anak.
2. 10. 4 Kelebihan Pendidikan
inklusif
· Dapat memenuhi hak pendidikan bagi
semua orang (education for all);
· Mendukung proses wajib belajar ;
· Pembelajaran emosi-sosial bagi ABK;
· Pembelajaran emosi-sosial-spiritual
bagi anak rerata lainnya;
· Pendidikan ABK lebih efisien.
2.10. 5 Tiga
alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus
1.
Individual
differences,
manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. memiliki kapasitas intelektual, sosial,
fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga memerlukan pendidikan yang sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhannya.
2.
Potensi
siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus
3.
Siswa
ABK akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.
2. 10 . 6 Model Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model.
1.
Model
inklusi penuh
(full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik
berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler.
2.
Model
inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik
berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas
reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru
pendamping khusus.
Model
lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin.
Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut
inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik
normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus.
Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik
berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.
Model
inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model
ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan
jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian
seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak
dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan
inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang
mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.
Model
pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model
pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu:
1.
Pendidikan
inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh
2.
Model
moderat ini dikenal dengan model mainstreaming
Model
pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta
didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk
beberapa waktu saja.
Filosofinya
tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus
disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan
ke bentuk layanan yang lain, seperti:
1.
Bentuk
kelas reguler penuh,
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di
kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2.
Bentuk
kelas reguler dengan cluster, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3.
Bentuk
kelas reguler dengan pull out, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas
reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4.
Bentuk
kelas reguler dengan cluster dan pull out, Anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
bersama dengan guru pembimbing khusus.
5.
Bentuk
kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada
sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak
lain (normal) di kelas reguler.
6.
Bentuk
kelas khusus penuh di sekolah reguler, Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus
pada sekolah reguler.
Dengan
demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan
semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua
mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak
berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan
gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang
gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas
khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi
kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah
biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
2.10.7 Implementasi Pendidikan
Inklusif
Implementasi Inklusif
Pendidikan
inklusif sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari program
mainstreaming yang sudah beberapa dekade ini diterapkan secara luas oleh para
pendidik di berbagai negra untuk anak- anak berkebutuhan khusus, meskipun
orientasi dan implementasinya berbeda. Ada beberapa faktor yang harus
dipertimbagkan dalam implementasi pendidikan inklusif, beberapa faktor dimaksud
menurut skjorten, Miriam D (2003:52-58) adalah;
·
Kebijakan
– hukum- undang-undang – ekonomi, yaitu perlunya ada undang-undang khusus yang
mengakomodasi kepentingan anak berkebutuhan khusus, sertu dukungan dana dalam
implementasinya;
·
Sikap
– pengalaman- pengetahuan, yaitu berkenaan dengan pengakuan hak anak serta kemampuan
dan potensinya;
·
Kurikulum
lokal, reginal, dan nasional;
·
Perubahan
pendidikan yang potensial, inklusi harus didukung oleh reorientasi di lapangan,
dalam bidang pendidikan guru dan penelitian;
·
Kerjasama
lintas sektoral;
·
Adaptasi
lingkungan, dan
·
Penciptaan
lapangan kerja.
Di
Indonesia sendiri Pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah didasarkan pada
beberapa landasan, filosofis dan yuridis-empiris. Secara filosofis,
implementasi inklusi mengacu pada beberapa hal, diantaranya, bahwa:
1.
Pendidikan
adalah hak mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus
2.
Anak
adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan dan
kebutuhan belajar yang berbeda
3.
Penyelenggaraan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua masyarakat dan
pemerintah
4.
Setiap
anak berhak mendapat pendidikan yang layak
5.
Setiap
anak berhak memperoleh akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya
Sedangkan
landasan yuridis-empirisnya mengacu pada:
1.
UUSPN
No 20 tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1), (2)
2.
U
U D 1945 pasal 31 ayat (1) & (2). dan (3)
3.
Permen
No 22 dan 23 Tahun 2006
4.
Deklarasi
Hak Asasi Manusia, 1948
5.
Konvensi
Hak Anak, 1989
6.
Konferensi
Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990
7.
Resolusi
PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang
8.
Persamaan
Kesempatan bagi Orang Berkelainan
9.
Pernyataan
Salamanca (1994) tentang Pendidikan Inklusi Komitmen Dakar (2000) mengenai
Pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) & Rekomendasi Bukittinggi
(2005) komitmen “pendidikan inklusif”.
Kendati
demikian, selama ini masih ada beberapa persoalan prinsip yang menyangkut
pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah. Di satu sisi, sesuai dengan
perundangan yang ada pendidikan inklusif hanya berlaku bagi anak-anak
berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah
rata-rata. Sedangkan secara konsep filosofis, sebenarnya inklusi adalah wadah
semua anak berkebutuhan khusus, termasuk diantaranya anak-anak yang kemampuan
intelektualnya berada di bawah rata-rata.
2.11 Kurikulum Anak Berkebutuhan Khusus (
ABK )
Kurikulum ABK
Kurikulum
adalah seperangkat rencana pembelajaran yang didalamnya menampung pengaturan
tentang tujuan, isi, proses, dan evaluasi. Dengan demikian kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang dirancang, diberlakukan dan diimplementasikan
dalam satu lembaga atau satuan pendidikan tertentu. Selanjutnya silabus
merupakan rancangan pembelajaran yang disusun oleh guru selama satu semester.
Sedangkan RPP sebagai rencana pembelajaran yang di susun guru untuk satu atau
bebrapa pertemuan dengan peserta didik.
Dalam
pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan
menjadi empat, yakni:
1.
Duplikasi
Kurikulum
Yakni
ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan siswa
rata-rata/regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra,
tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut
tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses,
yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara
menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.
2.
Modifikasi
Kurikulum
Yakni
kurikulum siswa rata-rata/regular disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta
didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk peserta
didik gifted and talented.
3.
Substitusi
Kurikulum
Yakni
beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang
kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan
kondisinya.
4.
Omisi
Kurikulum
Yaitu
bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total,
karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak
rata-rata.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan-perbedaan
baik perbedaan interindividual maupun intraindividual yang signifikan dan
mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga untuk
mengembangkan potensinya dibutuhkan pendidikan Penanganan pendidikan untuk
anak-anak ABK dapat berbentuk model segregasi (Contohnya SLB), kelas khusus,
SDLB, guru kunjung, sekolah terpadu, dan pendidikan inklusi. Sedangkan
Personil/tenaga yang terlibat dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan ABK,
meliputi: guru, konselor, tenaga medis, psikolog dan personil lain yang
dibutuhkan.
3.2 SARAN
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sekolah inklusif
sehingga anak yang berkebutuhan khusus yang berbakat dapat menyakurkan bakat
mereka. Pemerintah juga harus mensosialisasikan adanya sekolah inklusif agar
sekolah inklusif diketahui keberadaanya, dan masyarakat tidak lagi meremehkan
sekolah inklusif bahwa anak-anak inklusif juga bisa berprestasi layaknya anak
normal. memberikan layanan bagi Anak Berkebutuhan Khusus dengan baik dan benar,
dan kita bisa memberikan pelayanan terbaik bagi anak yang berkebutuhan khusus.
DAFTAR
PUSTAKA
Khoerunisa, Ciska. 2013. Model dan Bentuk Layanan Anak Berkebutuhan
Khusus.
http://www.ciskakhoerunisa.Model-dan-bentuk-layanan-anak-berkebutuhan-khusus.wordpress.com.
Diunduh pada tanggal 09 November 2016 Pkl 12:45 WIB.
pada tanggal 09
November 2016 Pkl 13 : 00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar